ARTANEWS.ID – Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengecam langkah Panitia Kerja (Panja) DPR dan pemerintah yang menggelar pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di hotel mewah Fairmont, Jakarta, pada akhir pekan. Mereka menilai tindakan ini sebagai bentuk minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi.
Koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi, seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, Walhi, Setara Institute, AJI Jakarta, hingga BEM SI, menilai bahwa pembahasan yang berlangsung secara tertutup dan dilakukan di luar gedung DPR telah melukai kepercayaan publik. Selain itu, pemilihan lokasi di hotel berbintang lima dinilai bertentangan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang selama ini dikampanyekan oleh pemerintah.
“Di tengah tekanan publik agar pembahasan revisi UU TNI lebih terbuka, justru DPR dan pemerintah memilih jalur tertutup dengan membahasnya di hotel mewah. Ini menunjukkan rendahnya komitmen terhadap transparansi serta partisipasi publik,” ujar perwakilan koalisi dalam pernyataan resminya, Sabtu (15/3).
Mereka juga menyoroti bahwa pembahasan yang dilakukan menjelang masa reses DPR pada 21 Maret mendatang semakin memperlihatkan adanya kesan terburu-buru dalam proses revisi UU TNI ini. Kritik juga muncul karena langkah ini dianggap sebagai bentuk inkonsistensi pemerintah yang sebelumnya menekankan penghematan anggaran negara, termasuk di sektor pendidikan dan kesehatan, namun justru mengalokasikan dana untuk pertemuan di lokasi eksklusif.
DPR Klaim Tidak Langgar Aturan
Menanggapi kritik tersebut, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyatakan bahwa pembahasan di Hotel Fairmont tidak melanggar aturan yang ada. Berdasarkan Tata Tertib DPR Pasal 254, rapat yang bersifat mendesak dapat dilakukan di luar Gedung DPR.
Menurut Indra, pemilihan lokasi di hotel dilakukan setelah mempertimbangkan ketersediaan tempat dan kenyamanan bagi peserta rapat. Ia juga menyebut bahwa pemilihan Hotel Fairmont didasarkan pada kerja sama yang sudah terjalin dengan DPR, sehingga mendapat tarif khusus yang dianggap lebih terjangkau.
“Tim kami telah menjajaki beberapa hotel lain, namun hanya Fairmont yang tersedia dengan format yang sesuai untuk pembahasan Panja RUU TNI ini. Kami juga mempertimbangkan fasilitas istirahat bagi peserta, mengingat rapat ini berlangsung secara maraton dengan urgensi tinggi,” jelas Indra kepada wartawan.
Potensi Kebangkitan Dwifungsi Militer
Selain masalah transparansi dan anggaran, koalisi masyarakat sipil juga mengkritisi substansi revisi UU TNI yang dinilai masih mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi militer.
Mereka menyoroti sejumlah poin dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR, terutama terkait perluasan kewenangan militer di sektor sipil. Koalisi menilai revisi ini akan melemahkan profesionalisme TNI dan membuka peluang bagi militer aktif untuk menduduki jabatan di institusi sipil.
“Penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil bertentangan dengan prinsip profesionalisme militer dan berisiko mengurangi peran sipil dalam kebijakan publik. Ini juga dapat memperkuat dominasi militer di ranah sipil serta menimbulkan loyalitas ganda yang berbahaya bagi demokrasi,” kata mereka.
Atas dasar itu, koalisi mendesak agar pembahasan revisi UU TNI dihentikan sementara sampai ada keterlibatan lebih luas dari masyarakat. Mereka juga menolak draf revisi yang diajukan pemerintah karena masih mengandung pasal-pasal yang berpotensi melanggengkan praktik militerisme di Indonesia.
Di sisi lain, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengungkapkan bahwa revisi UU TNI saat ini fokus pada empat poin utama, yaitu penguatan alutsista, pembatasan peran TNI di lembaga sipil, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan pengaturan usia pensiun TNI. Namun, ia menegaskan bahwa perubahan hanya menyasar tiga pasal, yakni Pasal 3 tentang kedudukan TNI, Pasal 47 mengenai penempatan TNI di institusi sipil, dan Pasal 53 yang mengatur batas usia pensiun prajurit.
Meski demikian, kelompok masyarakat sipil tetap bersikeras bahwa revisi ini harus ditinjau ulang secara menyeluruh untuk menghindari dampak negatif terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan sipil di Indonesia.